Selasa, 19 Mei 2009

Keraton Solo, Pengorbanan yang tak dinilai

1. Keraton Solo, pusat kebudayaan tak ternilai

Pembangunan Keraton Mataram diawali pada tahun 1745 sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Pakubuwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pendirian keraton inilah pulalah yang menandai pembangunan Kota Surakarta.
Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta
.Di keraton inilah, banyak orang terkenal “lahir.” Sebut saja pujangga Ronggowarsito, Letjen Djatikusumo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Tak hanya itu, dari dalam bangunan kuno ini juga lahir segala bentuk kesenian yang adiluhung.
Dengan kata lain, tempat itu menjadi pusat kebudayaan, mengingat dasar-dasar kebudayaan Jawa bersumber dari sini. Bangunan yang terletak di pusat Kota Solo itu kini mempunyai dua raja, yakni Hangabehi yang sekarang bergelar Paku Buwono (PB) XIII dan menempati di dalam keraton, serta Tejowulan yang berada di luar Keraton.
Menurut catatan, pembangunan keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Karena kemerdekaan RI, pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan pada16 Juni 1946. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi.


2. Mempertaruhkan keagungannya demi Republik Indonesia

Setelah pengambilalihan kekuasaan akibat kemerdekaan RI, keraton mengalami banyak kemunduran.. Pengageng Sasana Wilapa (Sekretariat Umum) GRAy Koes Moertiyah atau yang akrab disapa Gusti Moeng mengaku, keraton Solo masih berdiri sampai saat ini hanya semata-mata karena sebuah usaha untuk meneruskan apa yang diwariskan oleh leluhurnya. Beliau mengaku untuk bertahan saja sudah sangat sulit apalagi jika ingin mengembangkannya.
Terlepas dari konflik internal yang melanda Keraton Solo, kesulitan dana menjadi faktor utama penyebab pudarnya bangunan Keraton Solo. Di sana-sini atapnya bocor, temboknya mengelupas.
“Kami sadar Keraton sebagai sumber atau pusat kebudayaan. Kami juga tetap konsisten walau kami tak punya dana untuk pelestarian apalagi pengembangan,” kata Gusti Moeng yang juga dikenal sebagai “Putri Mbalelo”.
Keraton mendapat dana dari Pemda Tingkat I, Jawa Tengah, sebesar Rp 1,3 miliar dalam setahun sejak 2003. Namun setelah kena pajak, yang diterima sekitar Rp 1,2 miliar. “Kalau dilihat jumlahnya kelihatan besar. Namun kalau dihitung, untuk menggaji abdi dalem yang jumlahnya sekitar 700 orang dalam setahun mencapai Rp 960 juta. Gaji abdi dalem berkisar Rp 50.000 hingga Rp 500.000,” ungkap Gusti Moeng.
Selain itu, ada pula dana dari pemerintah sebesar Rp 172 juta untuk biaya upacara adat. Di Keraton Solo dalam setahun ada delapan upacara adat, sehingga pihak Keraton selalu nombok. Untuk upacara Suro biayanya Rp 150 juta, sementara plafon dari pemerintah hanya Rp 50 juta; upacara Grebeg Rp 30 juta, sedangkan dari pemerintah Rp 20 juta. Untuk memperingati jumenengan raja biayanya Rp 350 juta. Belum lagi pengeluaran untuk listrik yang setiap bulan mencapai Rp 7 juta, setelah ada sebagian listrik yang diputus.
“Kalau saya hitung-hitung, untuk melaksanakan upacara adat itu kami butuh sekitar Rp 700 juta,” kata mantan anggota DPR periode 1999–2004 tersebut.
Uang untuk nombok itu, menurut Gusti Moeng, diambilkan dari kantong sendiri, misalnya dari pemasukan Museum Keraton yang setahunnya mencapai Rp 250 juta. Di samping itu ada sumbangan sukarela dari orang-orang yang diberi gelar oleh Keraton, misalnya untuk gelar KPH wajib membayar sekitar Rp 5 juta, selebihnya dipersilakan menyumbang sesuai kemampuan masing-masing.
Hal ini sangat berbada sekali dengan pada masa pemerintahan Paku Buwono X ( kakek Gusti Moeng) Kala itu, Keraton Solo punya banyak pemasukan dari pabrik gula, pabrik mori, perkebunan, air minum, dan sebagainya.
Namun setelah Indonesia merdeka, semua yang awalnya dikuasai Keraton menjadi milik negara. “Dari sinilah perubahan terjadi dan Keraton tak memiliki sumber pemasukan dana,” ujar Gusti Moeng.
Selain masalah dana, keluarga keraton juga mengakui bahwa telah banyak benda-benda peninggalan keraton yang beredar di lingkungan luar keraton. Gusti Moeng menuturkan, kalau banyak benda Keraton yang beredar di luar lingkungan Keraton itu sejak pemerintahan Paku Buwono X, karena kebijakan Sinuhun selalu memberi bekal kepada anaknya yang laki-laki berupa rumah beserta isinya berikut selir serta tujuh benda pusaka. Salah satu benda pusaka tersebut harus dikembalikan ke Keraton sebagai tanda bakti atau istilahnya kancing gelung. Sementara itu, untuk anak perempuan diberi tujuh set perhiasan emas berlian.
“Ketika itu mereka masih mendapat bayar dari Keraton. Tapi setelah zaman kemerdekaan, siapa yang akan menggaji? Mungkin ada yang menjual pusaka dan itu pasti dikatakan pusaka tersebut dari Keraton,” ungkapnya. “Jangankan hanya dihargai Rp 400 juta, wong Rp 1 miliar saja Sinuhun nggak akan mau jual (benda pusaka), lebih-lebih dengan menyertakan sertifikat. Ini harga diri.”




3. Keraton Solo berada di ambang kepunahan.

Berbagai masalah yang harus dihadapi oleh Keraton solo menyebabkannya mengalami banyak kemunduran. Sudah tidak dapat dibantah lagi jika kesustanablean keraton solo saat ini telah makin melemah seiring hilangnya kekuasaannya untuk mengatur dan mengusahakan pemasukannya sendiri. Ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran yang makin parah memaksa kaum kasunan untuk mencari penghasilan sendiri dari pihak lain selain pemerintah untuk menjalankan aktivitas keraton. Mereka harus meletakan sejenak gelar kabangasawananya dan bekerja seperti layaknya masyarakat lain untuk memenuhi kebutuhan kaluarganya sendiri maupun kebutuhan keraton termasuk memperbaiki bagian-bagian bangunan keraton yang makin hari makin rusak dimakan usia, apalagi sebagian besar bangunan tidak dibuat dengan bahan permanent seperti semen melainkan menggunakan kayu. Inilah mengapa keraton solo terlihat sangat kumuh, tak terawat, serta berada di lingkungan yang semrawut. Kesan sebagai bangunan bersejarahnya yang berwibawa tak tampak lagi. Seolah rohnya hilang seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Sebagai sebuah ikon, keraton seharusnya dapat tetap mempertahankan kemegahannya meskipun harus barsaing dengan kehidupan modern yang kian menghimpit. kebuadayaan kebudayaan masa lampau.
Makin sulitnya mempertahankan hidup dan tanggung jawab besar yang mau tidak mau harus ditanggung oleh seluruh penghuni keraton termasuk para abdi yang dipaksa untuk mampu memenuhi kebutuhannya dengan upah dari keraton yang amat murah menyebabkan pemikiran untuk keluar dan menjalani kehidupan di luar keraton menjadi pilihan yang tidak aneh lagi untuk diambil. Banyak keluarga dan para penghuni keraton yang telah meninggalkan haknya untuk tinggal di keraton dan pergi untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Hal ini makin memperburuk kemampuan keraton Solo untuk mempertahankan keberadaannya. Kekuatannya kian diuji dari hari ke hari. Dan bagai jatuh tertimpa tangga pula, seiring makin sulitnya warga keraton mendapatkan dana untuk mempertahankan segala aktivitas dan upacara di kawasan keraton, masalah juga datang dari dalam tubuh kekeratonan sendiri. Pepecahana dalam keluarga menyebabkan banyak pihak utama keluarga yang seharusnya turut menjadi tulang punggung pertahanan keraton malah pergi meninggalkan keraton.


4. Apakah keraton Solo dapat bertahan?

Keraton solo dan kebudayaannya yang dahulu begitu diagung-agungkan kini telah jauh dari kemasyurannya. Semangat Kasunanannya seakan paerlahan padam dan kalah oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman modern. Para keturunan keraton yang masih tertinggal terus berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankannya, tetapi perubahan akan nilai – nilai kebudayaan terus datang dari segala arah, berusaha untuk menenggelamkan warisan leluhur dengan logika dan pemikiran-pemikiran baru yang jauh dari nilai-nilai kedaerahan. Ketidakmampuan keraton solo untuk bertahan makin terlihat jelas. Tidak perlu masuk terlalu jauh untuk mencari tahu seberapa berbedanya keraton solo pada masa sekarang dengan masa keemasannya berpuluh-puluh tahun yang lalu, gedungnya yang rapuh dan para penghuninya yang terlihat makin lanjut usia menandakan kesustainan keraton solo saat ini telah berada di ambang kematiannya. Kesadaran kaum muda, seluruh masyarakat bahkan pemerintahan sendiri makin lemah untuk menolong keraton solo agar mampu bertahan.
Pihak manakah yang paling dapat disalahkan atas keadaan di atas? Setiap orang bergelut dengan pemikirannya sendiri untuk menemukan kambing hitam yang bisa disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban atas keadaan yang terjadi pada keraton Solo. Ketidaksustainablean Keraton Solo langsung maupun tidak langsung adalah ulah dan resiko yang harus kita terima akibat begitu banyak perubahan - perubahan baru yang telah kita pilih, termasuk demi menjaga persatuan dan keadilan Republik Indonesia yang saat ini telah merdeka, dan usaha untuk mempertahankannyapun hanya dapat dilakukan oleh kita jika bersama-sama. Apakah kita sebagai pemilik aset bangsa yang tidak dapat tergantikan oleh uang berapapun besarnya ini akan menyia-nyiakan dan membiarkannya hilang dimakan usia atau kita dengan rasa kebersamaan dan memiliki akan mempertahankan dan bangga untuk mengahargai dan mengagumi keraton solo sebagai salah salah satu kebanggaan bangsa yang harus rela kehilangan sebagian kesustainannya dan kekuasannya demi terciptanya Negara Kesatuan RI yang kita miliki sekarang ini.
Keraton solo dan segala kegiatan-kegiatannya tidak akan bisa sama lagi seperti dulu namun kita wajib berusaha untuk mempertahannkannya sebagai pusat seni dan budaya seperti yang ditetapkan oleh presiden kita dengan tidak malu-malu untuk mempelajari dan berkunjung ke Keraton Solo. Usaha kita bersama sangat dibutuhkan untuk menjaga keraton solo dari kepunahannya. Jika bukan kita sendiri yang bangga dan berusaha untuk mempopulerkan kebudayaan kita agar tidak hilang dan terbengkalai, siapa lagi yang mampu melakukannya?.





Oleh :

Helmy Adiningsih
NIM : 21081284

Tidak ada komentar: